PRINSIP-PRINSIP ISLAM TENTANG KELUARGA
Prinsip-Prinsip
|
Ayat/Hadis
|
|
Bertujuan untuk
membentuk keluarga harmonis
|
QS. Ar-Rum (30) ayat 21.
|
وَمِنْ
آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا
إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ
لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
|
Pendekatan kasih sayang antar anggota keluarga
|
QS. Ar-Rum (30) ayat 21.
|
وَمِنْ
آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا
إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ
لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
|
Membangun relasi dan
kerjasama yang baik antar anggota keluarga
|
QS. An-Nisa` (4) ayat 19. QS. Al-Ma`idah (5)
ayat 2.
|
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ
كَرْهًا وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آَتَيْتُمُوهُنَّ
إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ
فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
ا
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ
وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
|
Kesetaraan dan
kebebasan dalam mengembangan diri secara individu
|
QS. AN-Nahl (16) ayat 97. QS.
At-Tawbah (9) ayat 71. dll
|
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا
مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً
وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
وَالْمُؤْمِنُونَ
وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ
وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ
اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
|
Tanpa Kekerasan antar
anggota keluarga, baik fisik, psikis, seksual maupun ekonomi
|
QS. An-Nisa` (4) ayat
34.
Hadis riwayat Ibnu Majah. Dll
|
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ
عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا
أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ
لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ
فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ
أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا
كَبِيرًا
|
Saling menghormati hak
dan kewajiban masing-masing
|
QS. Al-Baqarah (2) ayat
28.
|
الَّذِينَ يَنْقُضُونَ
عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ
أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ (27)
كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ثُمَّ
يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
|
Musyawarah dalam
menyelesaikan masalah
|
QS. Ali Imran (3) ayat 159.
|
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ
اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا
مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي
الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
الْمُتَوَكِّلِينَ
|
|
|
|
Draft Modul
PSW UIN Sunan Kalijaga
Bentuk dan Tipologi Keluarga
Secara umum bentuk keluarga dapat dibagi menjadi
dua, yaitu keluarga besar (extended family) dan keluarga inti (nuclear
family). Dalam masyarakat
pedesaan, keluarga besar semula lebih berperan dari pada keluarga inti. Dalam
keluarga besar, kekerabatan yang didasarkan pada hubungan darah dianggap lebih
penting dari pada hubungan karena perkawinan, walaupun perkawinan merupakan
salah satu upaya untuk mempertahankan hubungan darah tersebut. Namun demikian,
di Indonesia sekarang peranan keluarga inti, atau sering juga disebut sebagai
keluarga batih, semakin penting tidak hanya dalam masyarakat perkotaan tetapi
juga dalam masyarakat pedesaan seiring dengan pesatnya pengaruh arus informasi
dan globalisasi. Keluarga besar memang masih dianggap penting, tetapi
perannya berada di bawah keluarga inti.
Sebagai unit
pergaulan hidup terkecil dalam masyarakat, keluarga inti memiliki beberapa
peran sebagai berikut:
1.
Sebagai tempat perlindungan bagi para anggotanya,
sehingga tercipta rasa tertib, aman, tentram, dan juga kasih sayang.
2.
Merupakan unit sosial ekonomi yang secara materil
memenuhi kebutuhan para anggotanya.
3.
Sebagai tempat pendidikan awal untuk menumbuhkan
dasar-dasar bagi kaidah-kaidah dan nilai-nilai pergaulan hidup dalam
masyarakat.
Secara umum
tipologi keluarga ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu keluarga institusional
dan keluarga companionship.
|
Keluarga
Institusional
|
Keluarga Companionship
|
Faktor-Faktor yang mempengaruhi relasi dalam
keluarga
|
Faktor-faktor di luar keluarga seperti adat,
pandangan umum masyarakat dan aturan hukum formal
|
Kesepakatan bersama yang didasarkan pada sikap saling
pengertian dan kasih sayang
|
Pola relasi antar anggota keluarga
|
Otoriter terpusat pada suami/ayah, sehingga
bersifat kaku
|
Demokratis, sehingga hubungan antar anggota
keluarga lebih lentur
|
|
|
|
|
|
|
Tipologi keluarga di atas pada dasarnya masih
bersifat umum. tipologi keluarga ini bisa juga dilihat dari pola relasi antara
suami isteri dalam sebuah perkawinan. Pola perkawinan tersebut dapat dibagi
menjadi empat kelompok sebagai berikut:
1.
Pola Perkawinan Owner Property
Istri adalah
milik suami, sama halnya seperti uang dan barang berharga lainnya. Tugas
suami adalah mencari nafkah dan tugas isteri adalah menyediakan makanan untuk
suami dan anak-anak dan meyelesaikan tugas-tugas rumah tangga yang lain,
karena suami telah bekerja untuk menghidupi dirinya dan anak-anaknya. Dalam
pola perkawinan seperti ini berlaku norma:
- Tugas isteri adalah untuk membahagiakan suami
dan memenuhi semua keinginan dan kebutuhan rumah tangga suami.
- Isteri harus menurut pada suami dalam segala
hal.
- Isteri harus melahirkan anak-anak yang akan
membawa nama suami.
- Isteri harus mendidik anak-anaknya sehingga
anak-anaknya bias membawa nama baik suami.
|
2.
Pola Perkawinan head-Complement
Isteri dilihat
sebagai pelengkap suami. Suami diharapkan untuk memenuhi kebutuhan isteri
akan cinta dan kasih saying, kepuasan seksual, dukungan emosi, teman,
pengertian dan komunikasi yang terbuka. Suami dan isteri memutuskan untuk
mengatur kehidupan keluarga secara bersama-sama. Tugas suami masih tetap
mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya, dan tugas isteri masih tetap
mengatur rumah tangga dan mendidik anak-anak. Tetapi suami dan isteri kini
bisa merencanakan kegiatan bersama untuk mengisi waktu luang.
Suami juga
mulai membantu isteri di saat dibutuhkan, misalnya mencuci piring atau
menidurkan anak, apabila suami mempunyai waktu luang. Tugas isteri yang utama
adalah mengatur rumah tangga dan memberikan dukungan pada suami sehingga
suami bisa maju dalam pekerjaannya. Suami mempunyai seseorang (isteri) yang
melengkapi dirinya. Norma dalam perkawinan masih sama seperti owner
property., kecuali dalam hal ketaatan. Dalam perkawinan owner property,
suami bias menyuruh isterinya untuk mengerjakan sesuatu, dan isteri harus mau
melakukannya. Tetapi dalam pola perkawinan head-complement suami akan
berkata, “silahkan kerjakan”, dan sebaliknya isteri juga berhak untuk
bertanya, “mengapa” atau”saya rasa itu tidak perlu”. Di sini suami tidak
memaksakan keinginannya. Tetapi keputusan terakhir tetap ada ditangan suami,
dengan mempertimbangkan keinginan isteri sebagai pelengkapnya.
|
3.
Pola Perkawinan Senior-Junior Partner
Posisi
isteri tidak hanya sebagai pelengkap suami, tetapi sudah menjadi teman. Perubahan
ini terjadi karena karena isteri juga memberikan sumbangan secara ekonomis
meskipun pencari nafkah utama tetap suami. Dengan penghasilan yang didapat,
isteri tidak lagi sepenuhnya tergantung pada suami untuk hidup. Kini isteri
memiliki kekuasaan yang lebih besar dalam pengambilan keputusan. Menurut teori pertukaran, isteri
mendapatkan kekuasaan dan suami kehilangan kekuasaan. Namun suami masih
memiliki kekuasaan yang lebih besar dari isteri karena posisinya sebagai
pencari nafkah utama. Artinya, penghasilan isteri tidak boleh lebih besar
dari suami. Dengan begitu suami juga menentukan satus social isteri dan
anak-anaknya. Ini berarti isteri yang berasal dari status social yang lebih
tinggi, akan turun status sosialnya karena status sosialnya kini mengikuti
suami.
Ciri perkawinan seperti ini, yang banyak
terjadi saat ini, adalah isteri bisa melanjutkan sekolah asal sekolah atau
karier suami didahulukan. Isteri juga bias merintis kariernya sendiri setelah
karir suami sukses. Dalam
pola perkawinan seperti ini isteri harus mengorbankan kariernya demi karier
suaminya. Di kalangan beberapa instansi pemerintah, suami harus menjalani
tugas di daerah sebelum bisa dipromosikan ke pangkat yang lebih tinggi. Demi
karir suami inilah, seringkali isteri rela berkorban.
|
4.
Pola perkawinan Equal-Partner
Pada pola ini tidak ada posisi yang
lebih tinggi atau rendah di antara suami isteri. Isteri mendapat hak dan
kewajiban yang sama untuk mengembangkan diri sepenuhnya dan melakukan
tugas-tugas rumah tangga. Pekerjaan isteri sama pentingnya dengan pekerjaan
isteri. Dengan demikian isteri bisa menjadi pencari nafkah utama, artinya
penghasilan isteri bisa lebih tinggi dari suami. Dalam hubungan ini, alasan
bekerja bagi perempuan berbeda dengan alasan yang dikemukakan dalam pola
perkawinan sebelumnya. Alasan untuk bekerja biasanya menjadi “sekolah untuk
kerja” atau “supaya mandiri secara penuh”.
Dalam pola perkawinan ini, norma yang
dianut adalah baik isteri atau suami mempunyai kesempatan yang sama untuk
berkembang, baik di bidang pekerjaan maupun secara ekspresif. Segala keputusan yang diambil di antara
suami isteri, saling mempertimbangkan kebutuhan dan kepuasan masing-masing.
Isteri mendapat dukungan dan pengakuan dari orang lain karena kemampuannya
sendiri dan tidak dikaitkan dengan suami. Dalam pola perkawinan seperti ini,
perkembangan individu sebagai pribadi sangat diperhatikan.
|
|
Prinsip-Prinsip Islam tentang Keluarga
Dalam Islam, keluarga, yaitu adanya kehidupan
bersama antara suami dan isteri kemudian juga anak apabila ada, merupakan salah
satu tanda kebesaran Allah SWT yang bertujuan supaya anggota-anggota keluarga
tersebut merasa tentram (sakinah) dalam menjalani kehidupan mereka. Di
antara anggota-anggota keluarga tersebut, diciptakan juga oleh Allah rasa kasih
dan sayang (mawaddah wa rahmah), sebagaimana dinyatakan dalam QS. Ar-Rum
(30) ayat 21. Tujuan untuk membentuk keluarga harmonis (sakinah)
tersebut akan dapat tercapai apabila ada hubungan dan pergaulan yang baik (mu’asyarah
bi al-ma’ruf) di antara para anggota keluarga (QS. An-Nisa` (4) ayat 19).
Kata ma’ruf (yang baik) berarti kebaikan menurut ‘urf (kebiasaan
lokal), sehingga mu’asyarah bi al-ma’ruf dapat diartikan sebagai
hubungan dan pergaulan yang baik menurut norma-norma kebiasaan masyarakat dan
kondisi internal masing-masing keluarga. Dengan demikian hubungan antar anggota
keluarga dalam Islam pada dasarnya bersifat fleksibel. Ini berarti pergaulan
antar anggota keluarga, termasuk pengaturan hak dan kewajiban masing-masing,
pada prinsipnya dapat dikompromikan dan dimusyawarahkan bersama dengan
mempertimbangkan kondisi internal masing-masing keluarga, dengan tetap mengacu
pada terciptanya kebaikan dan keharmonisan keluarga. Karena musyawarah dalam
menyelesaikan masalah merupakan prinsip Islam, termasuk masalah-masalah dalam
keluarga (QS. Ali Imran (3) ayat 159).
Prinsip-prinsip Islam tentang keluarga ini lebih
lanjut dapat digambarkan dalam bentuk tabel sebagai berikut:
Prinsip-Prinsip
|
Ayat/Hadis
|
|
Bertujuan untuk
membentuk keluarga harmonis
|
QS. Ar-Rum (30) ayat 21.
|
|
Pendekatan kasih sayang antar anggota keluarga
|
QS. Ar-Rum (30) ayat 21.
|
|
Membangun relasi dan
kerjasama yang baik antar anggota keluarga
|
QS. An-Nisa` (4) ayat 19. QS. Al-Ma`idah (5) ayat
2.
|
|
Kesetaraan dan
kebebasan dalam mengembangan diri secara individu
|
QS. AN-Nahl (16) ayat 97. QS.
At-Tawbah (9) ayat 71. dll
|
|
Tanpa Kekerasan antar
anggota keluarga, baik fisik, psikis, seksual maupun ekonomi
|
QS. An-Nisa` (4) ayat
34.
Hadis riwayat Ibnu Majah. Dll
|
|
Saling menghormati hak
dan kewajiban masing-masing
|
QS. Al-Baqarah (2) ayat
28.
|
|
Musyawarah dalam
menyelesaikan masalah
|
QS. Ali Imran (3) ayat 159.
|
|
|
|
|
Prinsip-prinsip
di atas pada dasarnya dapat dikembalikan pada prinsip Islam secara umum tentang
kemerdekaan sebagai khalifah Allah dan keadilan yang harus diwujudkan dalam
pergaulan sosial. Dalam berberapa literatur, terutama literatur Fikih, biasanya
yang dikemukakan secara rinci adalah masalah hak dan kewajiban antar anggota
keluarga, terutama hak dan kewajiban antara suami dan isteri. Namun demikian,
apapun rincian hak dan kewajiban tersebut, sebenarnya harus tetap berpegang
pada prinsip-prinsip yang ada tentang keluarga dalam Islam.
Berikut ini
dikemukakan artikel pendek tentang hak dan kewajban antara suami dan isteri:
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI
|
Hak dan
kewajiban antara suami dan isteri pada dasarnya adalah seimbang, sehingga dalam
beberapa literatur disebutkan bahwa prinsip hubungan antara suami dan isteri
dalam keluarga adalah kesetaraan dalam hak dan kewajiban (al-musāwah baina
al-rajul wa al-mar'ah fī al-huqūq wa al-wājibāt) atau adanya keseimbangan dan kesepadanan
(at-tawāzun wa at-takāfu`) antara keduanya. Keseimbangan antara hak dan kewajiban ini
antara lain dinyatakan oleh al-Qur'an dengan "Bagi isteri memiliki hak
sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya yang dilaksanakan secara baik."
Ayat
tersebut memberi pengertian bahwa isteri memiliki hak yang wajib dipenuhi oleh
suami
seimbang dengan hak yang dimiliki suami yang wajib dipenuhi oleh
isteri, yang dilaksanakan dengan cara yang
ma'rūf (dengan cara yang baik
menurut kondisi internal masing-masing keluarga). Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa bentuk hak dan kewajiban suami isteri ini pada hakekatnya
didasarkan pada adat kebiasaan (
'urf) dan fitrah manusia serta dilandasi
prinsip "setiap hak yang diterima sebanding dengan kewajiban yang
diemban".
Kewajiban dan hak antara suami isteri dalam keluarga
dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kewajiban suami yang merupakan hak
isteri, kewajiban isteri yang merupakan hak suami, serta kewajiban dan hak
bersama antara suami dan isteri.
- Kewajiban Suami
Suami, sebagaimana dinyatakan
secara tekstual dalam Al-Qur`an, adalah sebagai pelindung (
qawwām) bagi
isteri.
Dari sini kemudian para ulama menetapkan
bahwa suami adalah kepala keluarga. Ayat tersebut menyatakan bahwa suami
menjadi pelindung bagi perempuan adalah karena dua hal, yaitu pertama, hal yang
bersifat natural karena pemberian (wahbī) dari Allah. Ini berupa bentuk
fisik dan tenaga laki-laki yang secara umum lebih kuat dari perempuan. Kemudian
yang kedua adalah hal yang bersifat sosial karena merupakan sesuatu yang
diusahakan (kasbī). Ini berupa harta benda yang dinafkahkan bagi anggota
keluarga yang lain, yaitu istri dan anak.
Namun demikian, kelebihan laki-laki atas perempuan ini hanya bersifat
keumuman. Kelebihan laki-laki atas perempuan ini adalah dari segi perbedaan
jenis kelamin (al-jins) yang dipandang secara umum, bukan berlaku bagi
setiap individu laki-laki atas setiap indivudu perempuan, karena pada dasarnya
banyak juga perempuan yang melebihi suaminya dalam hal ilmu, agama atau
pekerjaannya. Atas dasar itulah ayat Al-Qur`an mengungkapkannya dengan
kata-kata bimā fadhdhala Allāh ba’dhahum ‘alā ba’dhin (karena Allah
melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain), yang diungkapkan secara
abstrak dengan tidak merujuk secara langsung laki-laki dan perempuan, dan bukan
dengan kata-kata bimā fadhdhalahum ‘alaihinna atau bi tafdhīlihim
‘alaihinna (Allah melebihkan mereka laki-laki atas orang-orang perempuan).
Penyebutan ayat seperti itu juga mengandung arti bahwa antara suami dan isteri
adalah berfungsi saling melengkapi satu sama lain. Keduanya seperti
bagian-bagian anggota tubuh yang masing-masing memiliki fungsi untuk saling
melengkapi lainnya.
Berbeda dengan mayoritas ulama, Muhammad Abduh menyatakan bahwa suami
berfungsi sebagai pelindung dan pembimbing (fungsi qiwāmah) itu hanya
bagi isteri yang nusyūz (durhaka), sebagaimana bunyi ayat setelahnya.
Sementara apabila isteri itu taat (shālihah), maka antara suami
dan istri memiliki kedudukan yang seimbang dalam keluarga. Hal ini sesuai dengan sebab turun dari
ayat 34-36 Q.S. Al-Baqarah (2) di atas yang berkaitan dengan Sa’d Ibn al-Rabi’
yang menempeleng istrinya karena nusyuz. Istrinya kemudian mengadukan ke
bapaknya dan mereke berdua menghadap Nabi SAW. Nabi kemudian memerintahkan
untuk membalas tempelengan itu kepada Sa’d, namun kemudian turun ayat tersebut.
Dalam beberapa literatur, kewajiban suami sebagai kepala keluarga ini
biasanya dibagi menjadi dua, yaitu kewajiban yang berkaitan dengan harta benda
(māliyyah) seperti nafkah, dan kewajiban yang tidak berkaitan
dengan harta benda (gair māliyyah) seperti memperlakukan isteri dengan
baik. Namun apabila dicermati, kewajiban selain harta benda pada dasarnya juga
menjadi kewajiban isteri. Dengan kata lain bahwa kewajiban tersebut adalah
kewajiban sekaligus hak suami isteri berdua. Karena itu kewajiban suami
terhadap isterinya adalah memberikan harta benda untuk keperluan hidup, yang
biasa disebut dengan nafkah (nafaqah).
Nafkah suami terhadap isterinya meliputi segala keperluan hidup, baik
makanan, tempat tinggal, dan segala pelayanannya, yang tentu saja disesuaikan
dengan kemampuan suami dan adat kebiasaan masyarakat setempat. Ayat al-Qur'an
dan Hadis Nabi SAW dalam hal pemberian nafkah oleh suami terhadap isterinya ini
sangat menekankan pada kelayakan menurut masing-masing masyarakat (al-ma'rūf)
dan juga disesuaikan dengan kemampuan suami (al-wus'u). Ayat al-Qur'an
tersebut antara lain:
"Kewajiban
ayah memberi makan dan pakaian kepada ibu dengan cara yang layak, seseorang
tidak dibebankan kecuali menurut kadar kemampuannya.
"Hendaklah
suami yang mampu memberikan nafkah menurut kemampuannya, dan suami yang
disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Allah tidak memberikan beban kepada seseorang melainkan sesuai
dengan apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan
sesudah kesempitan."
Sementara dalam Hadis riwayat A'isyah antara lain diceritakan bahwa Hindun
Binti 'Utbah mengadu pada Nabi SAW bahwa Abu Sufyan suaminya adalah orang yang
kikir sampai-sampai tidak pernah memberikan harta kepada dia dan anaknya,
sehingga dia sering mengambilnya secara diam-diam dan tidak diketahui Abu
Sufyan. Terhadap pengaduan tersebut Nabi menjawab khudzī mā yakfīki wa
waladiki bi al-ma’rūf (Ambillah
sekedar mencukupi kebutuhan kamu dan anakmu dengan cara yang layak).
Hadis ini di samping menunjukkan bahwa nafkah itu merupakan kewajiban suami
terhadap anak isterinya, juga menunjukkan bahwa yang disebut nafkah bukan hanya
sekedar untuk makan dan minum tetapi untuk kebutuhan hidup lainnya, baik yang
bersifat sekunder maupun tertier, yang disesuaikan dengan kemampuan ekonomi
suami. Kewajiban nafkah suami kepada isterinya ini pada dasarnya merupakan
imbangan dari fungsi reproduksi perempuan yang akan, apabila Allah juga
menghendaki, mengandung, melahirkan, dan menyusui anak dari suaminya itu. Hal ini secara implisit dinyatakan oleh Q,S. al-Baqarah ayat 233 di atas.
Ayat tersebut menyebut suami yang berkewajiban memberikan nafkah kepada
isterinya dengan istilah al-mawlūd lahu (pemilik anak yang dilahirkan).
Ini berarti bahwa antara nafkah dan wilādah (melahirkan, salah satu
proses reproduksi yang dialami perempuan) memiliki kaitan yang sangat erat.
Kewajiban nafkah suami ini tidak menghalangi isteri untuk bekerja di
lapangan publik. Perempuan, sebagaimana laki-laki, juga berhak untuk bekerja di
sektor publik. Karena bekerja di luar rumah tidak semata-mata untuk mencari
harta tetapi juga merupakan aktualisasi diri dalam rangka mengamalkan ilmu yang
dimiliki dan juga turut serta dalam membangun kemajuan masyarakat, bahkan
peradaban umat manusia. Di samping itu, bisa dibayangkan apabila
tidak ada perempuan yang bekerja di sektor publik, karena selama ini banyak
sekali kontribusi kaum perempuan bagi perkembangan dan kemajuan masyarakat.
Perempuan bekerja di sektor publik ini pada dasarnya sudah ada sejak masa
Nabi, dan beliau tidak melarangnya. Dalam Hadis antara lain diriwayatkan bahwa
perempuan pada saat itu ada yang menenun dan menjahit kain, menyamak kulit,
beternak, menanam palawija, mengobati dan sebagainya. Pekerjaan perempuan di luar rumah ini
pada dasarnya tidak menggugurkan kewajiban nafkah suami, hanya saja isteri bisa
membantu untuk mencukupi kebutuhan keluarga sesuai kesepakatan berdua. Ini
sesuai dengan pernyataan Al-Qur'an bahwa masalah nafkah ini, walaupun pada
dasarnya adalah kewajiban suami tetapi dilaksanakan dengan cara yang ma'rūf.
Arti ma'ruf ini adalah menurut kelayakan dan kepatutan, tidak saja
sesuai dengan konteks masyarakat tetapi juga sesuai dengan konteks internal
keluarga. Kewajiban dan hak suami isteri, sebagaimana dinyatakan, dapat
dilaksanakan secara fleksibel, karena yang terpenting adalah terwujudnya tujuan
pernikahan, yaitu membentuk keluarga harmonis yang satu sama lain saling
menyayangi dan menghormati.
2.
Kewajiban Isteri
Prinsip dalam hak dan kewajiban antara suami dan isteri adalah keseimbangan
antara hak dan kewajiban; kewajiban yang dilaksanakan sesuai dengan hak yang
didapatkan. Apabila nafkah adalah kewajiban suami sebagai imbangan dari fungsi
reproduksi perempuan yang mengandung, melahirkan, dan menyusui, sebagaimana
dikemukakan di atas, maka kewajiban isteri adalah melaksanakan fungsi
reproduksi tersebut secara baik dan sehat, yang memang secara kodrati hanya
bisa dilakukan oleh perempuan. Namun kewajiban isteri ini hanya merupakan
prinsip dasar dan terutama pada cara dalam menjalani proses reproduksinya yang
harus benar-benar dilakukan secara baik dan sehat, sementara penentuan untuk
memiliki keturunan atau tidak, kapan waktunya, dan jumlah keturunannya berapa
adalah hak berdua dari suami dan isteri. Ketiga hal tersebut, yaitu penentuan
memiliki keturunan, waktunya, dan jumlahnya, semuanya dapat dimusyawarahkan
antara suami dan isteri.
Namun apabila dilihat dari segi hukum secara rinci terhadap tiga hal di
atas, maka pertama, pihak yang menginginkan untuk memiliki keturunan harus
dimenangkan. Hal ini karena di samping ada beberapa Hadis Nabi yang
menganjurkan untuk memiliki keturunan, juga salah satu fungsi pernikahan yang
utama adalah memiliki keturunan (creation). Kemudian selanjutnya,
mengenai dua hal terakhir, yaitu penentuan waktu hamil dan jumlah keturunannya,
walaupun merupakan hak berdua, tetapi isteri lebih berhak untuk menentukan,
karena dialah yang dapat merasakan sendiri kondisi kesehatannya, baik kesehatan
fisik maupun kesehatan mentalnya.
3.
Kewajiban Bersama Suami dan Isteri
Pernikahan merupakan komitmen dua belah pihak, antara suami dan isteri,
untuk menjalani kehidupan bersama dengan membentuk keluarga. Untuk membentuk
keluarga Maslahah perlu ada niat dan usaha dari kedua belah pihak, sehingga
segala hal yang mengarahkan bagi pembentukan keharmonisan keluarga seperti
saling setia, menjaga rahasia keluarga, saling membantu dan menyayangi, dan
lain-lain adalah kewajiban bersama antara suami dan isteri. Kewajiban,
sekaligus hak, suami isteri tersebut, dengan demikian, secara umum adalah
keduanya harus berupaya menjalin dan memelihara relasi, hubungan, dan pergaulan
yang baik (mu'āsyarah bi al-ma'rūf) di antara mereka.
Pergaulan secara baik antara suami dan isteri, dalam arti keduanya harus
menghormati dan menyayangi satu sama lain, banyak dikemukakan dalam ayat
al-Qur'an dan Hadis Nabi. Ayat dan Hadis tersebut umumnya memerintahkan kepada
laki-laki untuk berbuat dan bergaul dengan isteri secara baik. Seruan tersebut
diberikan kepada suami karena pada masa Nabi memang budaya yang dominan adalah
budaya patriarkhi, sehingga perempuan masih tersubordinasi. Dalam konteks
seperti itu kemudian ayat dan Hadis menyeru suami untuk bergaul secara baik
dengan isteri. Ini menunjukkan bahwa di samping Islam sangat menganjurkan
penghormatan kepada perempuan demi untuk kesetaraan, juga seruan tersebut
berlaku sebaliknya, yaitu anjuran kepada isteri untuk bergaul secara baik
dengan suami. Ayat dan Hadis tersebut antara lain: wa ‘āsyirūhunna bi
al-ma’rūf (Pergaulilah isterimu dengan cara yang baik), akmal al-mu`minīn īmānan ahsanuhum
khuluqan wa khiyārukum khiyārukum li nisā`ihim (Orang
mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan
sebaik-baik kamu adalah yang paling baik terhadap isteri).
Mu'āsyarah bi al-ma'rūf ini, di samping mengenai pergaulan sehari-hari dalam berbagai masalah,
juga mengenai hubungan seksual antara suami dan isteri. Dalam beberapa
literatur, para ulama berbeda pendapat mengenai hubungan seksual suami isteri
ini, apakah hak suami atau kewajiban suami. Imam as-Syāfi'i memandangnya
sebagai hak suami, sementara mayoritas ulama berpendapat bahwa berhubungan
seksual adalah kewajiban suami. Namun sebenarnya hubungan seksual ini
adalah hak dan kewajiban bersama, karena di samping ada Hadis yang melarang
isteri menolak berhubungan seksual tanpa alasan, juga perintah terhadap suami untuk
melakukan hubungan seksual dengan isteri, bahkan suami dilarang bersumpah bahwa
dirinya tidak akan berhubungan seksual dengan isteri, yang disebut dengan
sumpah ilā'.
Ayat dan Hadis tersebut menunjukkan bahwa hubungan seksual adalah hak dan
kewajiban bersama. Hubungan seksual antara suami isteri ini tentu saja
dilakukan dengan cara yang baik dan dapat dinikmati bersama, karena al-Qur'an sendiri menggmbarkan
bahwa suami isteri itu masing-masing menjadi pakaian bagi yang lainnya: hunna
libāsun lakum wa antum libāsun lahunna (Para isteri adalah pakaian bagi
kalian (para suami) dan kalian adalah pakaian bagi mereka).
Ayat ini menegaskan bahwa hubungan seksual adalah kepentingan berdua, bukan
hanya kepentingan suami dan isteri hanya melayani, dan juga bukan sebaliknya
hanya untuk kepentingan isteri dan suami hanya melayani. Lebih jauh Imam
al-Gazali menyatakan bahwa hubungan seksual itu tidak hanya berfungsi untuk
meneruskan keturunan (creation), tetapi yang pertama kali adalah
berfungsi untuk kesenangan (recreation). Ini berarti bahwa isteri, sebagaimana
suami, harus juga menikmati hubungan seksual, karena hubungan seksual bagi
isteri tidak hanya untuk kepentingan meneruskan keturunan saja.
Sumber: Agus M.oh Najib dan Fatma Amilia “Keluarga Maslahah” dalam
Waryono A. Ghafur dan Isnanto (Eds.), Membangun Keluarga Sakinah dan
Maslahah (Yogyakarta: PSW UIN Sunan Kalijaga-IISEP Canada, 2006), hlm.
114-123.
|
|
Hak anak ini
lebih lanjut dapat digambarkan dalam bentuk tabel sebagai berikut:
Hak-Hak Anak
|
Ayat/Hadis
|
Pendapat Ulama
|
Pemelihaan dan
Pengasuhan yang baik sejak dalam kandungan sampai menjelang dewasa
|
QS. An-Nisa` (4) ayat 9.
|
|
Nafkah yang baik dan sehat
|
QS. Al-Baqarah (2) ayat 233.
Hadis..
|
|
Pendidikan
|
Hadis
|
|
Mengemukakan Pendapat
dalam musyawarah
|
QS. Ali Imran (3) ayat 159.
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Prinsip-prinsip
di atas pada dasarnya dapat dirunut pada prinsip-prinsip Islam tentang keluarga
secara umum. Karena itu, rincian hak dan kewajiban antara anak dan orang tua
tersebut, sebenarnya harus tetap berpegang pada prinsip-prinsip keluarga yang
ada. Berikut ini dikemukakan artikel
pendek tentang hak dan kewajban antara anak dan orang tua:
Hak dan Kewajiban Anak-Orang
Tua
|
Salah satu
tujuan pernikahan adalah meneruskan keturunan, yaitu adanya anak. Dengan adanya
anak berarti hubungan dan relasi dalam keluarga bertambah, tidak hanya antara
suami dan isteri, tetapi juga antara orang tua dan anak. Sebagaimana antara
suami dan isteri, relasi antara orang tua dan anak juga diatur dalam Islam.
Adanya pengaturan kewajiban dan hak antara orang tua dan anak pada dasarnya
adalah dalam rangka merealisasikan tujuan pernikahan, yaitu membentuk keluarga
yang harmonis dan bahagia.
Adanya kasih
sayang antara orang tua dan anak pada dasarnya fitrah manusia, bahkan fitrah
dari seluruh makhluk hidup di Bumi ini, tidak terkecuali binatang. Karena itu ada ungkapan bahwa
"harimau tidak akan mungkin memangsa anaknya". Apabila ada hubungan
kasih sayang antara anak dan orang tua yang putus, maka hal itu disebabkan oleh
hawa nafsu yang seharusnya dihindari. Perbedaan apapun seharusnya tidak
menghilangkan rasa kasih sayang di antara mereka, karena inilah yang sesuai
dengan fitrah manusia yang murni. Untuk menghindari dan mengekang hawa nafsu
itu, maka Islam mengatur hak dan kewajiban antara orang tua dan anak.
1. Kewajiban Orang Tua
Sejak dalam kandungan, menurut para ulama, anak sudah dapat memiliki hak
walaupun belum menerima kewajiban. Hak yang dimiliki anak dalam kandungan
tersebut antara lain hak waris, hak wasiat, dan hak memiliki harta benda. Adanya hak bagi anak sejak dalam
kandungan ini menunjukkan bahwa menurut Islam kasih sayang orang tua itu harus
diberikan sejak anak dalam kandungan, baik dalam bentuk perawatan dan
pemantauan kesehatan janin secara fisik maupun penerimaan akan kehadirannya
secara psikologis. Karena itulah dalam Islam, anak sejak dalam kandungan sampai
menjelang dewasa memiliki hak perawatan dan pemeliharaan (al-hadhānah)
yang wajib dilaksanakan oleh orang tuanya. Hadhānah
di sini dipahami sebagai pemeliharaan secara
menyeluruh, baik dari segi kesehatan fisik, mental, sosial maupun dari segi
pendidikan dan perkembangan pengetahuannya. Dengan demikian orang tua memiliki
kewajiban untuk merawat, memelihara, dan mendidik anak, dari mulai persiapan
kehamilan, memeriksakan kesehatan janin, melahirkannya secara aman, merawat,
memelihara, dan mengawasi perkembangannya, serta mendidiknya supaya menjadi
anak yang sehat, saleh, dan berilmu pengetahuan luas.
Hadhānah ini wajib
dilakukan oleh orang tua, dan menjadi hak anak, karena dalam Islam sangat
ditekankan adanya keturunan dan generasi penerus yang baik dan kuat. Untuk
mempersiapkan keturunan dan generasi penerus yang kuat dibutuhkan persiapan
bahkan sebelum kehamilan sampai dengan mendidik anak dengan baik sehingga
menjadi orang dewasa yang sehat, cerdas, dan berakhlak mulia. Karena itu
al-Qur'an memperingatkan manusia untuk berhati-hati dan perlu merasa takut
apabila nanti memiliki keturunan yang lemah, baik secara fisik maupun mental:
"Dan
hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di
belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesehatan,
kesejahteraan, serta perkembangan fisik dan mental) mereka. Oleh sebab itu
hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar."
Sebagai konsekwensi dari hadhānah tersebut, maka orang tua,
terutama ayah, juga mempunyai kewajiban untuk memberi nafkah kepada anak. Karena
hadhānah tersebut tidak mungkin berjalan secara baik tanpa adanya
nafkah yang berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, dan sarana penunjang
lainnya supaya anak tumbuh dan berkembang dengan baik. Bahkan dapat dikatakan
bahwa kewajiban nafkah bagi anak ini masih merupakan bagian dari hadhānah,
karena hadhānah merupakan pemeliharaan anak baik menyangkut
kesehatan fisik, mental, maupun perkembangan pengetahuannya.
2. Kewajiban Anak
Apabila kewajiban orang tua di atas dipenuhi sebagai bentuk kasih sayang
kepada anak, maka sudah sewajarnya apabila seorang anak harus berbuat baik
kepada orang tuanya. Kewajiban berbuat baik kepada orang tua ini pada dasarnya
sebagai imbangan dari kewajiban hadhānah dari orang tua, yang telah merawat anak bahkan sebelum
lahir sampai menjadi orang dewasa. Al-Qur'an menyatakan:
"Dan
Tuhanmu menetapkan agar supaya kamu tidak menyembah kecuali kepada-Nya, dan
supaya kamu berbuat baik kepada kedua ibu bapakmu."
"Kami
perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya,
ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah
pula. Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan ...."
Berbuat baik kepada orang tua ini sangat ditekankan dalam Islam, sehingga
adanya perbedaan agama dan keyakinan antara anak dan orang tua tidak dapat menggugurkan
kewajiban ini, sebagaimana dinyatakan oleh ayat:
"Dan kalau kedua ibu bapakmu memaksa kamu supaya mempersekutukan Aku
dengan sesuatu yang tidak engkau ketahui, maka janganlah engkau mengikuti
keduanya, dan bergaullah engkau dengan mereka di dunia ini dengan baik,"
Sebagai perwujudan dari berbuat baik (ihsān) tersebut,
maka anak memiliki kewajiban memberi nafkah kepada orang tua, apabila memang
orang tuanya membutuhkan. Di samping karena pemberian nafkah tersebut termasuk
perbuatan baik (ihsān dan ma'rūf) sebagaimana diwajibkan
oleh dua ayat di atas, juga karena harta miliki anak pada dasarnya adalah milik
orang tuanya juga, sebagaimana dikemukakan oleh Hadis Nabi: inna athyaba mā
akaltum min kasbikum wa inna awlādakum min kasbikum fa kulūhu hanī`an marī`an (sebaik-baik
apa yang kamu makan adalah dari hasil usahamu, dan anak merupakan salah satu
hasil usahamu, maka makanlah (dari harta anakmu) dengan enak dan lezat).
Berbuat baik kepada orang tua tersebut pada dasarnya dalam segala hal, baik
perkataan maupun perbuatan. Perbuatan baik terhadap orang tua juga tidak
terbatas, dan yang membatasi adalah adanya hak anak itu sendiri. Dengan
demikian masing-masing anak dan orang tua pada dasarnya memiliki hak dan
kewajibannya. Apabila terjadi perbedaan pendapat, maka juga harus
dimusyawarahkan dan dibicarakan dengan baik, dengan dilandasi rasa kasih sayang
dan saling memiliki.